Thursday, December 31, 2015

Halaman ke-365: Percakapan Pagi dan Malam di Ujung Tahun 2015


"Manusia begitu sibuk bercita-cita, 
hingga mereka lupa apa yang sebenarnya dicita-citakannya."


Di suatu siang yang sepi karena kebanyakan penduduk ibukota sudah beranjak menuju liburan, terjadi percakapan antara Pagi dan Malam selagi kembang api sedang disiapkan:

Pagi:"Hai, kamu dari mana?"
Malam: "Aku dari tahun 2015."
Pagi: "Kamu mau ke mana?"
Malam: "Aku mau ke tahun 2016."
Pagi: "Tempat seperti apa itu?"
Malam: "Entahlah. Aku tidak lagi rajin melihat ramalan horoskop seperti tahun-tahun sebelumnya. Sudah terlalu lelah untuk prediksi ataupun ekspektasi."
Pagi: "Lalu, kau ini mau ke mana?"


Malam hanya bisa menggeleng, lalu menepi sebentar di sudut kota tempat ia bisa menyesap kopi yang tak terlalu pahit -- mungkin dicampur sedikit susu -- sehingga merenung tidak lagi disamakan dengan menyendiri. Lagipula, bagaimana mungkin bisa menyendiri kala begitu banyak suara-suara dalam benak minta dikeplak layaknya dengung-dengung nyamuk?


Suara-suara itu tak henti-hentinya berkicau, buru-buru ingin menutup halaman terakhir, padahal tak semua berhasil dituntaskan. Lalu kenapa pula aku harus menuntaskannya?

Hari ini, "tahun lalu" terasa bagai lamunan yang sudah menguap di udara terik.
Hari ini, "tahun lalu" terlihat bagai api yang sudah hampir berhasil melumat 364 hari, menyisakan abu dan bara yang sedikit-sedikit masih berhembus.


Suara-suara itu pun tak henti-hentinya bermimpi, buru-buru ingin menggariskan segala mimpi untuk tahun depan, seperti memberi nama pada bayi yang bahkan belum lahir. 

Hari ini, "tahun depan" terasa begitu dekat. Terjangkau, tapi tidak dengan harga yang murahan.
Hari ini, "tahun depan" terlihat begitu jelas. High definition.


Pagi: "Hai, kamu dari mana?"
Malam: "Aku... sekarang ini berasal dari akhir tahun 2015."
Pagi: "Kamu mau ke mana?"
Malam: "Aku mau ke hari esok. Tapi masih dalam perjalanan. Sambil menikmati perjalanan, aku mau menciptakan janji-janji lagi kepada diri sendiri, yang lebih adil dan lebih menjanjikan."
Pagi: "Janji seperti apa itu?"
Malam: "Janji yang sederhana, seperti... menepati janji itu sendiri."
Pagi: "Jadi bukan mimpi, harapan atau.... resolusi?"
Malam: "Semua hanya tentang penamaan saja, bukan? Intinya tetap saja mengenai... tertawa lebih sering."
Pagi: "Ah, kau ini omong kosong!" 
Malam: "Oke, baiklah. Janjinya adalah... mencintai dengan lebih tulus; membiarkan diri dicintai dengan lebih tulus."
Pagi: "Sejenis nelangsa?"
Malam: (tertawa sambil menggeleng samar) "Sejenis kejujuran, untuk menerima keterbatasan diri di satu sisi dan mengekspansi diri di satu sisi lain. Bagaimanapun juga, kita ini manusia yang suka berandai-andai dan juga senang mencapai tujuan. Tahun baru, aku akan menyulut lagi api yang sempat meredup, kalau tidak, apa gunanya menjadi dewasa?"
Pagi: (tersipu)


Sebetulnya, Pagi ingin segera memunculkan mentari, tapi ia tak bisa. Ia tetap harus menunggu panitia-panitia Pesta Tahun Baru menyelesaikan tugasnya melepas berton-ton kembang api di pinggir pantai, di dekat pohon natal Mall-mall megah, di tengah-tengah kemacetan, kepul barbeque atau kelip bintang. 

Sebetulnya, Pagi bisa bersabar, karena perkara kehadirannya sendiri, hanya masalah waktu. Perkara kehadiran tahun 2016 dan segala janji yang kelak ditepati, hanya masalah waktu. Bukankah begitu? 


***
Saya sempat mengacak-acak lalu menemukan sedikit partikel dari 2013, sejenis menemukan sisa bara yang ternyata masih mengepul. Saya rasa itu gunanya menyisihkan waktu, sesedikit apapun, untuk menulis:

The so-called 'home' is not always the place where you raised and grew. 
It is where you can be fully accepted as a human being,
and also the place that allows you to grow and glow,
to push your limit, to let you fall down, cry out loud but never want to give up.
Place where you are giving your all passionately,
to be the very best of yourself at any time,
with a fairer  point of view, to give sincerely.
Place that make you always feel safe, yet make you always on fire...
on catching your own breath. 


Well, have a fabulous 2016, 
dearest readers!

Tuesday, December 15, 2015

Spoken Words Script: The Talking Coffee. #Indonesia

Skrip Spoken Words ini ditulis dalam rangka mengikuti #OpenMic Unmasked Vol.2 
yang digelar pada Jakarta Biennale 2015.
Bekerjasama dengan PWAG Indonesia dan FemArts, kita bicarakan segala sesuatu tentang wanita.



“Secangkir kopi pahit yang tak mengerti, mengapa wanita itu selalu menyeduhnya di saat sendiri; mengapa wanita ituselalu memesan cappuccino yang cemen ketika sedang kopi darat di kafe-kafe cemen.”


The Talking Coffee.

Apa yang terjadi bila segelas kopi ini // pagi ini// 
mengajakmu berbicara?

Hai wanita dewasa yang mengaku-ngaku dewasa / 
aku sering tersipu kalau kau mendekatkan bibirmu yang baru dipulas gincu untuk mengecupku lalu selayak puisi kau nyalakan 
sedikit / 
sedikit / 
demi sedikit teguk-teguk yang mengetuk perasaan bahagia // 


Ah kau ini lucu / 
kau masih terseret kantuk / 
makanya kau lagi-lagi merengek sambil mewek // 
Bukan bukan / 
kau tak lucu / 
kau ini aneh / 
kau menatapku dan membiarkanku mengepul sambil kau melamun lalu kau campurkan airmatamu yang sepet lalu kau minum sendiri / 
sehingga kau terpaksa terjaga sepanjang malam sambil menyayat-nyayat kelam yang terlambat tertambat//
Kadang kau juga mengoyak-ngoyak kesabaranku / 
kau tak boleh membiarkanku dingin begitu saja hanya karena kau mendadak tidak mood minum kopi wahai wanita dewasa yang mengaku-ngaku dewasa! // 
Kau ini masih bocah / 
aku capek! // 
Eh, tapi bukankah kau dan para priamu memang jiwa-jiwa bocah yang membuncah dari tubuh orang dewasa? / 
Kalian mengawang dalam sesi-sesi kopi darat lalu berbincang tentang cuaca / 
neraca /
dan ayam rica-rica// 
Kadang kau terbahak bersama buaya / 
kau bermimpi bersama tukang tenun harap / 
kau bergurau dengan pangeran parau yang ternyata datang dari desa // 


Sebetulnya kopi darat tak begitu menyebalkan tapi aku sering frustasi karena kau / 
selalu / 
memesan / 
cappuccino // 
Apa kau sebenarnya tak pernah memujaku seperti tiap pagi kau menyesap segala pahit dan asam yang kelak bermuara di degup jantungmu?


Aku sering membaca benakmu / 
bagimu aku adalah sekelumit rumit yang tak kunjung pamit dan sesederhana itu kau terus mencinta // 
Ya aku sedang menyusuri benakmu / 
kopi yang dicampur setengah cangkir susu adalah jalan pintas agar kau merasa pantas dicintai / 
karena tak banyak yang hendak bersulit-sulit mempelajari pahit // 
Persetan dengan originalitas / 
kau hanya ingin dicintai dengan pas // 
Tak heran / 
kau sering terlepas // 
Namun setidaknya di pagi buta pukul lima sayup-sayup udara dingin mematuk kulit / 
kau masih tetap memilih menghirup bunyi denting sendok menggoda cangkir seraya merayakan sepi di ujung mimpi //


Ko-pi // 
Kotoran Pikiran // 
Kadang kau sebal denganku lalu menyebutku kotoran / 
namun denting sendok masih mengayun mengaduk kelebat pikiranmu yang mengundang ampas-ampas kembali merangkak ke permukaan // 
pekat hitam legam / 
tak mengerti juga kenapa kau mencintai setiap cangkir yang menyambut pagi dan pula menyimpan kelam sisa tadi malam dimana setiap titik bersinggungan tanpa bertemu titik temu//
Mungkin kau candu / 
kau rela membagi-bagi waktu tidurmu yang menguap di udara sambil terbawa suasana / berharap aku tetap menjadi alasanmu yang paling cerdas untuk mengikuti ritme jagad raya.


Sini / 
kuberitahu kau satu rahasia kaum biji kopi / 
menjelajah rasa selalu mendebarkan / 
kau kira aku mengerti mengapa aku adalah alasanmu untuk terbangun tiap pagi padahal aku pahit / 
padahal aku pun tak mampu mendefinisikan rasaku sendiri // 
Mungkin sebabnya hanyalah / 
karena /
 aku / 
kopi / 
apa / 
adanya / 
tanpa gula tanpa krimmer tanpa susu aku / 
melebur bersama semesta rasa //
Dan kau / 
wahai wanita dewasa yang mengaku-ngaku dewasa yang berusaha menjadi dewasa kalau perlu yang apa adanya / 
kau / 
pantas dicinta // 
Sepahit apapun ujung bibirmu /
 serumit apapun ujung benakmu  kau /  


pantas dicinta //

Locate me. Crematology Coffee Shop.

Sunday, November 1, 2015

Helm Warna Kuning - Sebuah Cerpen iseng untuk Nulisbuku & Yayasan Astra-Honda Motor.


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti 
Kompetisi Menulis Cerpen 'Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.' #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com


HELM WARNA KUNING
 
            “NIKUNG, SIH! RASAIN!” suara cempreng itu berhasil membuat orang-orang kantoran yang berjalan di pinggir trotoar menoleh dengan muka horor. Langit yang sudah mulai senja terlihat begitu indah di kawasan Kuningan, semburat matahari yang hampir tenggelam bersembunyi malu-malu di balik gedung-gedung perkantoran. Macet, sudah pasti. Asap kendaraan, apalagi. Namun, knalpot motor matic yang tergeletak di pinggir trotoar itu sama sekali tidak mengeluarkan asap lagi.


            “Ya udah, sih, suaranya nggak usah gede-gede,” gue mengelus-elus siku kaki gue, robek sudah jins yang dibelikan Yuna ini. Yuna pernah bilang, harga jins itu satu setengah juta. Ya manalah gue percaya, itu kan gajinya 2 minggu, mana mungkin dia mau beliin gue, kecuali dia bego. Tapi, Yuna ini memang bego, gue cukup sayang sama dia sampai akhirnya gue nganterin dia reunian di kafe daerah Kemang, dan bertemu dengan cewek bersuara cempreng yang barusan berteriak ini.

            “Lu kan nggak sejago Marquez kalo bawa motor, jadi nggak usah gaya-gayaan!” Namanya Priscilla. Lihat saja dari perangainya, sudah jelas bahwa dia ini tipe cewek galak macam emak-emak di pasar dalam kondisi senggol bacok, walaupun begitu, dia mau saja ditikung.

            “Ah, kamu, masih aja baper sama MotoGP. Kan tadi pagi udah sign petition buat Rossi, kan?” gue jawil lengannya dengan usil sambil menaik-naikkan alis. Maunya sih ketawa dan bikin dia ketawa juga, tapi apa daya gue cuma bisa meringis kesakitan, kayaknya gue emang butuh kasih sayang banget—eh maksudnya, butuh dikasih betadine. Ini kaki, baru nyium aspal dikit aja udah manja gini. Akibat kurang kasih sayang, emang.

            “Udah lah! Lagian parah banget sih, si Pedrosa juga ikut andil ternyata! Gue nggak habis pikir sama mental-mental orang kayak gitu, kan kesian Om Rossi!” Priscilla mulai berkoar dengan tangannya yang sibuk mencari-cari tisu basah dari tas warna kuningnya yang norak.

            “Pri, kamu cantik kalo lagi marah-marah.” Eh sumpah, ini refleks. Gue aja nyesel ngomong kayak gini, lihat saja wajah Priscilla yang langsung mendadak jadi nenek lampir. Matanya yang sipit mendelik tajam ke arah gue, gue hampir bisa melihat golok di ujung matanya. Tangannya yang memegang tisu basah terhenti di udara beberapa detik, lalu kemudian benda itu melayang dan mendarat tepat di siku gue yang berdarah-darah.

            “Aduh!” gue meringis kesakitan lagi, Priscilla bener-bener tega, masa tisunya dilempar gini, sih. Yuna aja nggak berani kayak gini ke gue. “Jahat sih, kamu. Yuna aja nggak tega, lho.”

            “Ya udah, sini handphone lu, biar gue telepon pacar si tukang nikung.” jawabnya ketus, dagunya terangkat sambil menatap ke arah lalu-lalang kendaraan.

            “Daritadi udah berapa kali kamu bahas nikung-nikung. Kenapa deh, sensi banget?” gue akhirnya menaikkan nada suara gue, pengaruh nyut-nyutan di kaki kayaknya, jadi ikutan baper kayak Priscilla. Sebenarnya, alasannya sederhana, dia masih marah dengan apa yang terjadi di malam reunian kemarin. Tapi gimana dong, gue kangen banget sama Priscilla ini dan gue nggak pernah expect bisa menemukan dia lagi! Bagi gue, Pri emang cewek yang langka di hidup gue. Bahkan, kalau Pri minta gue untuk mutusin Yuna sekarang, gue akan bersukarela melakukannya—walaupun abis itu gue nggak lantas pacaran sama Pri. Beneran! Beneran segitu desperate-nya gue sama cewek sialan ini. Sebenarnya bukan karena dia cantik kayak Cara Develingne atau tajir mampus, sih, tapi karena dia punya kedua nya. Cantik dan tajir.

            “Hidup itu susah, men. Kalo udah bisa hidup, jadilah yang berintegritas,” balas Priscilla tegas, alisnya yang tebal mengerut, ia menatap gue dengan tajam beberapa saat, “gue balik, hati-hati.” Ia merampas tas kuningnya yang tergeletak di trotoar, bangun dari jongkoknya dan menyetop metromini yang lumayan sepi, pergi begitu saja tanpa membalikkan badannya SAMA SEKALI. Yaelah, Pri kan bukan Cinta, dan gue juga bukan Rangga. Nggak perlu lah drama-drama AADC-an kayak begitu. Tapi tetep aja, jantung gue…. masih deg-degan gara-gara diliatin dia? Lu lebih bego dari Yuna, dasar Haris Oktavianto!

            Gue bersihkan darah di siku kaki gue yang mulai mengering, membereskan tas selempang gue dan berjalan tertatih menuju motor matic gue. Gue sama sekali nggak deg-degan karena mesti menempuh perjalanan panjang ke Sunter dengan motor ini, bukan juga karena gue takut dimarahin Nyokap. Gue deg-degan karena gue merasa nggak dianggap oleh cewek sialan itu. Priscilla sama sekali tidak menoleh, menyuruh gue mengabarinya kalau sudah sampe rumah, atau sekedar ‘gue jenguk besok,’ apa kek gitu, biar gue seneng dikit. Gue ambil handphone gue untuk menghubungi Yuna, minta maaf atas kejadian semalam dan memberitahu dia tentang posisi gue sekarang. Seperti yang sudah gue duga, Yuna histeris dan bilang akan segera naik taksi buat jemput gue. Sekalian aja, Na, bawain derek buat ngangkut motor gue.

            And you see, Priscilla Owen? Ada orang yang mau mencurahkan semua perhatiannya ke gue, jadi lu nggak usah sok kecakepan kayak begitu. Lu pikir, gue segitu desperate-nya apa?!
 
***
          
Setiap kali ke luar rumah atau pamitan, kita seringkali mendengar “Hati-hati, ya!” dan segera kita balas dengan anggukan. Kenapa ‘hati’-nya mesti ada dua kali? Gue nggak pernah mempertanyakan hal-hal tolol seperti ini, sampai siang ini… ada orang yang tiba-tiba mengetok pintu rumah gue kayak maling. Cara Develingne. Eh, maksud gue, Priscilla. Bukan Priscilla dalam arti harafiah, sih, tapi representasi dalam bentuk ojek online yang sekarang marak beredar di ibukota. Mas-mas berjaket hijau itu menyerahkan sebuah kotak sambil meminta maaf karena sudah mengetuk pintu rumah dengan cara yang tidak sopan, katanya disuruh pengirimnya begitu. Dasar cewek rese. Gue cuma bisa senyum jaim ke mas ojek dan memberinya sedikit tip karena sudah mengantarkan perasaan ini dengan selamat.


            Kotak itu berisi helm berwarna kuning yang silau banget, lalu secarik kertas dengan tulisan “awas kalo nggak dipake!!!!!” ya ampun, tanda serunya banyak banget, udah kayak golok. Helm ini… saking noraknya bikin kepala jadi mendadak pusing. Belum sempat gue menangisi tragedi helm kuning ini, handphone gue sudah berbunyi. Sambil menyeret kaki gue yang masih diperban, gue raih handphone gue, “Halo?” sambil menghempaskan tubuh gue di sofa.

            “Dasar nggak tahu terima kasih!” suara cempreng di seberang hampir bikin gendang telinga gue meletus.

            “Eh, selow dong. Thanks ya, sayang,” gue seneng banget denger si cempreng yang nelpon gue duluan. Ahey.

            “Helm-nya dipake!”

         “Lah, orang helm gue baik-baik aja. Ngapain kirim-kirim helm norak gitu sih—maksud aku, kamu ngapain sih repot-repot? Mending, kirim diri kamu aja, aku kangen.”

            “OGAH!”

Lalu telepon terputus. Gue tatapi handphone gue yang bertuliskan ‘call ended’ dengan takjub. Wanita macam apa ini. Tapi, jangan panggil gue Haris kalo kemudian gue ke pojokan dan nangis sambil keramas. Gue telepon lagi nomor itu, bersabar menunggu nada sambung sampai akhirnya… dijawab juga.

            “Jadi, Ris, gue jelasin ya. Itu bukan helm. Itu jimat. Udah gue suruh Oma gue buat jampi-jampiin, supaya lu selalu selamat sentosa setiap kali lu di jalan.” Nggak pake halo, nggak pake basa-basi, Priscilla langsung nyerocos panjang lebar.

            “Kalo mau aku selamat mah gampang, kamu tebengin aku tiap hari. Aku pasti bawa motornya bae-bae. Nggak ngebut, nggak nerobos lampu merah, nggak pura-pura jaim depan polisi. Hehehe.” ujar gue santai, udah nggak sabar mau diomelin lagi sama cewek ini.

            “Lu pasti protes sama warnanya, kan? Gue udah bilang sama Oma, beli yang warna biru aja, tapi kata Oma, jimat itu hanya bakal ampuh kalo warnanya kuning. Dipake helm-nya, Ris, soalnya mustahil gue mau nebeng elu.”

            “Iya, seakan-akan kalo gue ngomong ‘kame-kameha,’ itu helm bisa langsung keluar api, lho.” balas gue males.

            “DIPAKE RIS, HELM-NYA.”

            “Iye, iyeeee. Bawel, gue pake deh ntar.”

            “Ris.” Suara Priscilla terdengar masih tegas-tegas mampus.

            “Iya, sayang?”

         “Dipake sekarang helm-nya. Oma gue udah siap di depan menyan, siap ngirimin jampi-jampi keselamatan ke elu.”

         Eh buset. Gue hanya bisa menganga menatap helm yang bahkan belum gue keluarkan dari dalam kotak. Priscilla mau gue make helm di dalam ruangan? Dipikir gue bakal head-stand terus muter-muter sampe pingsan kali, ya. “Iye, udah gue pake.” jawab gue asal, masih melototi helm yang mengkilat itu.

            “PAKE GAK?” suara cempreng Priscilla membelah langit dan bumi.

        “EH IYA, IYA!” refleks, gue melepaskan handphone gue ke sofa dan langsung memakai helm itu. Plek. Bau helm baru selalu enak dicium. Gue nyalain speaker handphone dan suara Priscilla sudah kembali normal.

            “Ris… lu inget sesuatu, nggak?” tanyanya.

         “Hah?” Gue masih membetulkan letak helm norak yang sekarang sudah sukses bertengger di kepala gue. 

            “Setelah donor ginjal ke elu, gue sempet demam tinggi dua mingguan,”

            “Ya iyalah, aku inget!” jawab gue sewot, Pri pikir gue tipe cowok yang nggak ngerti balas budi apa, gue masih ingat kebaikan Priscilla yang bersedia menjadi donor ginjal dan menyelamatkan gue dari vonis dokter yang menyatakan bahwa gue bakal segera mati. Priscilla Owen, yang notabene-nya adalah sahabat baik Yuna. Priscilla, yang bukan siapa-siapa gue, tapi mau membagikan salah satu organ tubuhnya kepada gue, di saat Yuna hanya bisa menangis tanpa tindakan apa-apa. Gue bener-bener berhutang dan memuja Priscilla banget. Bagi gue, dia adalah cewek paling cantik dan tajir seantero semesta. Hatinya cantik, jiwanya tajir. Gue pengen banget melindungi dia seumur hidup gue, sayangnya gue kadang suka jiper dan berasa nggak pantes. Intinya, waktu itu gue panik banget mendapati Priscilla demam tinggi setelah proses donor selesai, sampe-sampe Priscilla dirujuk ke Rumah Sakit di Malaysia untuk mendapat pengobatan yang lebih mutakhir. Setelah itu, gue sama sekali nggak pernah dapat kabar apa-apa lagi dari Priscilla, sampai akhirnya gue ketemu dia di reunian itu. Coba pikirkan, gimana gue nggak hepi-jungkir-balik ketemu the savior of my life?!

            “Setelah gue sembuh dari demam itu, gue… jadi bisa ngeliat Oma gue lagi.” suara Priscilla mengecil.

          Gue berusaha mencerna kata-kata Pri. Jadi bisa ngeliat Oma… lagi? Ada hawa dingin yang tiba-tiba menjalar di tengkuk gue, sial, gue merinding.

            “Oma gue sekarang masih di depan lu, lagi ngasih pemberkatan ke elu.”

            “Pri… nggak lucu!” anjrit, suara gue jadi gemeteran gini, tangan gue refleks ingin mencopot helm penuh misteri ini dan membuangnya jauh-jauh.

            “Eeeh! Jangan dibuka! Kalo lu buka helm itu sekarang, lu bisa ngeliat Oma gue. Sumpah!”

Anjrit! Gue hanya bisa merutuk dalam hati, memandangi sekeliling gue dengan penuh kewaspadaan, bisa saja tiba-tiba ada ‘yang lewat.’ Punggung gue langsung bereaksi mengeluarkan keringat dingin, gue juga nggak bisa teriak karena bonyok gue juga lagi di luar kota. Rumah ini kosong, tinggal gue doang. Sialan kau, Priscilla, sialan!

            “Oke, oke. Jadi, kapan kamu mau dateng ke sini temenin aku?” gue berusaha berbicara dengan nada yang biasa-biasa saja, daripada mikirin si Oma yang spooky, mending gue ngegombalin Pri aja.

            “Lah, gue udah di depan lu, kok.”
DEG!
            “Hahahaha… Udah ah, gue mau mandi.”

            “Pri…”

           “Oma gue tadi titip pesen, katanya jampi-jampi sentosanya kira-kira setengah jam. Lu jangan lepas helm, ya.”

            “Pri… kenapa kaki aku… rasanya dingin-dingin gitu?”

            “Lagi dipegang sama Oma, biar cepet sembuh. Satu, Ris, yang perlu lu ketahui, gue sempet nyesel banget nggak bisa donor darah ke Oma pas beliau kecelakaan, jadi lu adalah alasan kenapa gue bersedia donor ginjal.”

            “Oh…” Gue speechless. Kaki gue masih terasa dingin, rasanya pengen pipis di celana.
            “Itu satu-satunya alasan gue. Bukan karena lu ganteng, jadi lu jangan sok kegantengan!” suara Priscilla jadi galak lagi. “Ya udah, hati-hati ya.” Priscilla mematikan teleponnya, sementara gue masih nanar mencerna semua kata-kata yang terdengar kayak bahasa asing.

Setiap kali ke luar rumah atau pamitan, kita seringkali mendengar “Hati-hati, ya!” dan segera kita balas dengan anggukan. Kenapa hatinya mesti ada dua kali?

            Apa karena hati bukan ginjal? Karena hati bukan ginjal yang ada dua dan bisa dibagi. Karena hati adalah nyawa yang lebih berharga dari umpatan di jalan raya yang macet, waktu yang mepet untuk sampai ke tempat tujuan, ataupun aspal mulus yang menggoda stang kanan untuk diputar lebih pol. Karena nyawa yang dibahas di sini lebih mahal dari nyawa HP (hit point) atau MP (magic point) yang ada di game, nyawa ini tidak bisa di-restore. Cupu emang. Gue juga nggak ngerti, walaupun sudah hampir sekarat dan hidup lagi berkat ginjal dari Priscilla, gue nggak pernah merasa ada salah apa-apa kalau ngebut di jalanan. Udah biasa, semua orang juga begitu. Terbiasa ngebut, terbiasa maki-maki, terbiasa ngambil jalan busway, nyalip bus dan mobil, apa sih salahnya? Hidup di Jakarta memang keras, men, semua dituntut serba cepat.

            “Hati-hati, ya!” suara itu lagi-lagi menggema di pikiran gue. Gue rasa helm ini dipakein perekam suara, deh. Gue bergidik sambil mengingat-ingat lagi, nyawa manusia memang nggak bisa di-restore kayak di game, tapi setidaknya gue bisa pake skill supaya nggak cepet-cepet amat ko’it nya. setidaknya menghargai usaha Priscilla yang udah repot-repot manggil Oma-nya ke rumah gue. Gue meringsek ke depan sambil meraih kotak yang tadinya berisi helm, masih ada secarik kertas di dalamnya. Gue hampir jejingkrakan dan salto ketika melihat tulisan Priscilla: take care, take care of yourself = take care of me.

           Iya, sayang, gue bakal jaga ginjal ini baik-baik, sampe gue bisa menjaga seluruh hidup lu suatu hari nanti. Amin! Dan entah kenapa, helm kuning ini berubah menjadi biasa-biasa aja, nggak norak lagi. Dan entah kenapa, memakai helm di dalam ruangan seperti ini, sendirian, dan (mungkin) ditemani makhluk halus juga jadi biasa-biasa aja. Dan entah kenapa gue yakin, tiap kali gue pake helm ini ke manapun, suara Priscilla yang ‘hati-hati’ akan selalu terngiang di kepala gue.

            Iya, Priscilla, iyaaaaaa.
 

Tuesday, October 27, 2015

Glenn #TWD Mati dan Plot Twist di Hidup yang Rumit

Ya ampun, lihat judulnya saja sudah bikin muak, ya? Actually, hari ini saya sedikit 'tergelitik' oleh dua hal:
1. Teman kantor saya yang ngomel-ngomel karena karakter Glenn Rhee dari The Walking Dead meninggal dengan cara yang agak sia-sia (jadi dia jatoh ke kumpulan walkers alias zombie waktu temennya yang pengecut bunuh diri. Kan nyebelin!). Glenn ini merupakan sosok yang dicintai penonton dan selalu bertahan dari serangan zombie di season-season sebelumnya, ia juga belajar banyak dari Rick, kepribadiannya yang pengecut pelan-pelan berubah menjadi berani, teruuusss... dia mati. Fine. Nowadays, filmmakers are insane, and sexy in the other way, sih! Berhasil memainkan emosi segitu banyak penonton dan meninggalkan mereka dengan mulut menganga. Hufh.
2. Hari ini adalah Hari Blogger Nasional. Tiba-tiba saya jadi kepingin nulis for the sake of this day. Intinya biar kekinian. Biar gak vakum-vakum amat kayak penyedot debu.
Recently, i think a lot about... how our life can change by some 'plot twist' yang tidak disangka-sangka datangnya. Contoh simpelnya, ya kayak kita sebagai penonton yang tiba-tiba dikejutkan dengan kematian Glenn ini. Hidup penuh kejutan, men! Banyak hal yang tak diduga, entah dalam hal yang positif atau negatif, bisa mengubah cara pandang kita terhadap sesuatu. Namun, kita sebagai manusia, selalu bertahan. Plot twist yang hidup, yang nyata, sedang kita jalani sekarang ini juga. Namun, tak ayal, plot twist inilah yang membuat suatu cerita menjadi lebih bermakna, lebih mendebarkan sekaligus dinantikan.
Jadi, entah apapun yang sedang kamu jalani saat ini, ingatlah bahwa kita sebagai manusia akan selalu bertahan dan tidak dilumat zombie seperti Glenn ini. Bertahan, tidak hanya untuk mereka yang hampir tenggelam oleh masalah; juga bagi mereka yang sedang mengawang-ngawang di atas kebahagiaan.
Bertahanlah di atas ketidakpastian. Bagaimanapun juga, plot twist dalam hidup tak berhak menjadikan kita sebagai 'sakelar lampu' yang bisa seenaknya di 'on-off' seenak udel.
Bertahan, karena kita bukan sakelar.
Bertahan, karena kita punya pendirian di atas ketidakpastian hidup ini.
Selamat Hari Blogger Nasional, kawan-kawan semua!

Sunday, October 18, 2015

Pahlawan di Ujung Perjalanan

Setiap kali saya melihat berita dan informasi yang bertebaran di sekeliling, saya selalu mendambakan konten-konten yang membangun, yang menggelitik pikiran saya untuk bersyukur tentang Indonesia. Karya anak bangsa, aksi-aksi inspiratif, tokoh-tokoh anti-mainstream yang berkontribusi pada lingkungan dan sosial, sesuatu yang membakar habis ketidakberdayaan. Sudah terlalu banyak berita korupsi, kriminal, demo, gosip artis bercerai yang memang lebih kontradiktif dan menjual, tapi tidak menjadikan pikiran kita lebih kritis dan terinspirasi.

Ah, inspirasi. Mengapa tidak berupaya mencarinya sendiri? 
Saya mulai membuka mata, ajaibnya ternyata banyak sekali pahlawan yang ada di sekitar kita! Mulai dari awal hari berangkat ke kantor sampai pulang kerja dengan energi yang terkuras. Herannya, kok saya jadi kepikiran abang kenek begitu membahas 'pahlawan di sekitar anda,' ya? Jadi begini, saya selalu parno kalau disapa oleh orang-orang asing di sekitar jalan - apalagi malem-malem - parno karena melihat kasus yang kadang muncul di berita juga, sih. Namun, abang kenek yang sering saya jumpai di perjalanan pulang ini memang patut diacungi jempol, bukan pahlawan dengan jasa menyelamatkan negara dengan bambu runcing, namun pahlawan era kekinian yang memberi pandangan dan inspirasi baru kepada setiap orang yang lewat di sana.

Abang kenek ini sama kayak abang-abang pada umumnya, sedikit gempal dan bersuara nyaring - wajar lah, profesi kenek memang mengandalkan suara dan ketukan koin di ujung angkot, bukan? Tapi, abang kenek ini selalu menyapa dan mengingatkan penumpang untuk berhati-hati, bahkan ia pernah berpesan kepada teman yang naik angkot bersama saya, "jagain si eneng-nya, ya!" Duileh, si abang. Tidak hanya itu, pernah suatu kali saya menerjang hujan dengan sepatu yang basah kuyup, abang kenek ini bahkan memberikan saya kantong plastik dan tisu! 

Saya percaya, hidup itu pilihan. 
Kita bisa memilih untuk selalu menjadi baik, memilih pilihan terbaik dan memberikan yang terbaik. Itulah yang saya pelajari dari 'pahlawan' yang selalu muncul di akhir perjalanan saya pulang kantor. Abang kenek dan segala kesederhanaannya; segala keramahan dan semangat yang tidak berpura-pura.  
Inspirasi seperti ini, ternyata bisa didapatkan dari dunia nyata; dari perjalanan sehari-hari. Pelajaran dari abang kenek mengenai memilih yang terbaik ini pun bisa saya aplikasikan dalam tiap aspek hidup saya, bahkan untuk pilihan berlangganan TV kabel. Lucu, bukan? Konsepnya sederhana saja, kalau inspirasi seperti ini bisa saya dapatkan di hidup sehari-hari, berarti kalau saya cukup jeli dan cerdas, saya pun bisa mendapatkannya dari TV kabel dengan program-program pilihan yang mengedukasi, dong?

Memilih untuk bertemu dengan inspirasi-inspirasi, tentu saja kita sendiri yang bebas memilih jenis informasi apa yang ingin kita pelajari. Smart TV for smart people. Tentu saja, dengan tujuan, menonton konten yang bermanfaat dari TV kabel langganan kita, akan membuat kita memandang hidup dengan lebih positif dan bersemangat, menjadi pahlawan bagi orang-orang di sekitar.

Deutsche Welle (DW) 
Salah satu TV channel dengan slogan baru: made for minds.
Bahasan Local Heroes-nya sangat menggerakkan hati.
source: #NyarisPuitis
 

Friday, October 16, 2015

Menyimak bisu. Menyimak Percakapan.




Mengheningkan Cipta.

Lalu kemudian semua siswa menunduk. 
Dengan seluruh angkasa raya memuja, pahlawan negara.

Kemudian kita hijrah dari kewajiban mengikuti upacara 
menuju senin sibuk dengan gelas kopi dan setumpuk deadline di kantor, 
beberapa kali mulut mangap-sesaat karena mengantuk. 

'Mengheningkan Cipta' ini tiba-tiba terpikir ketika 
duduk terpekur di ujung jendela kamar: 
1. suasana di luar sana yang bisu. 
2. Angin yang menyentuh dahan pohon dan membuatnya menari, 
3. mas-mas tukang bangunan yang berkacak pinggang memandangi tumpukan marmer, beberapa yang bertukar sapa. 

Kapan kita bisa bertemu bisu seperti ini dan menikmatinya? 
Tanpa gadget seharian, pikiran selayak layang-layang. 
Dengan gadget, kita terfokus dengan segala percakapan fana, cekikikan sendirian. 
Yang penting, intinya kita fokus.

Seakan lupa, ada percakapan lain yang lebih perlu kita bahas. 
Jauh di dalam lubuk hati.
Dan momen di-ujung-jendela-melihat-kebisuan... 
merupakan salah satu cara untuk bercakap-cakap
dengan diri sendiri.
Mengheningkan cipta.

Mengheningkan citta.
Berbahasa dengan pikiran sendiri di kondisi yang paling natural.
Bawel,
diam dengan sendirinya,
bawel lagi,
diam lagi.

Mengheningkan citta.
Cara untuk menyapa 'pahlawan' yang bersemayam dalam pikir, 
memuja jasa-jasa... yang seringkali terdistraksi.


Jakarta, 17 Oktober 2015.

Wednesday, October 7, 2015

Cracker: crack my head, hack my mind at Poetry Slam!

Challenged by one of the writing-partner-in-crime, i finally decide to try write a spoken word (after we joined a poetry slam show in Salihara Community last sunday - and it's totally impressing!)

In fact, spoken words tastes a lil bit urban for me, it's like you try to 'translate' swinging lilting poetry-language into a very sophisticated words, with the same goal: express the emotion, show the idea!

The emotions and ideas are such great things to deliver to public, because people like to hear the stories with a 'crunchy' way, in a contemporary thingie. In a nutshell, speak with an unique way!

So, well.. this is my very first spoken word, i think the title will be: 


CRACKER.
i think i like you
because every single crack on your face
seems like seaweed seasoning cracker
it's salty
but you remind me of the splash of the salt water in the ocean 
through your blinking eyes.

eyes
your eyes
i see a glimpse
i see sparks
i see the fire that ready to burn entire city 
and turn it into ashes
the potential in how you tell your dreams, 
your brain.

oh, your brain
i really want to chew every single cell 
beating from your brain and...
gulp, gulp
being drunken in every ideas 
that turns us into endless party
down there
the heartbeat
the rhythm
down there.

it's your heart
and i started to see myself as zombie
walking there
walking dead
afraid of your eyes that contains the tingling sunshine, 
bringing the conservative, 
the so-called butterfly effect
i'm afraid to burn into ashes before i could ever 
see your eyes seeing my eyes,
wondering how it would feels
to be showered by the heat, on that seat
with every cracker that we eat
and we repeat it again. 
repeat.
crack. crack. crack.
i wanna hack your mind.

and your voice
chirping inside my head
pecking up the logic, 
the arithmetic, 
the periodic table, 
the geometry 
and leaving me nothing scientific but feeling
thump. thump.

i think i like you
the salty water in the ocean that i should have not even try to try, for it can drown me into never ending thirst
your brain that contain hundred billion neurons 
and they keep twinkling zillion of zillion stars above the sky
above my eyes
your eyes...

your eyes,
and a reflection is about to...
beep. beep.

i think i like you
i think i like myself
i think i'm seeing myself in you
i think i am like you.



So, please, tell me,
when you started to feel the person you talk with is a real interesting person and suddenly you just feel really into them... think again, are you seeing yourself there?
And when that phenomenon happen, can you really 'separate' yourself and other?
One kind of impression that Poetry Slam gave me is... a nice experience, and how i see the world, finally wider. 
Wow.

a calm and windy evening, pieces of poems flew around!

Saturday, October 3, 2015

The Intern (2015) Movie Review: "Menjadi Perfeksionis yang Seksi."

Pengalaman tidak akan pernah menjadi tua. 

Ben Whittaker, seorang Opa-opa yang kesehariannya dipenuhi kegiatan 'nyantai' seperti berlatih tai chi, mengunjungi cucu, nongkrong di coffee shop sambil baca koran merasa hidupnya perlu tantangan lebih. Mendapat kabar bahwa kantor e-commerce About The Fit sedang membuka lowongan untuk pemagang usia lanjut, Ben kembali menyelam dalam dunia kerja dengan pengalaman yang beda banget! Diperankan oleh Robert De Niro, sosok Ben begitu hangat bersahabat, menjadi manfaat bagi setiap orang di sekitarnya, seperti layaknya toko serba ada dengan pintu terbuka 24/7, sehingga tak heran dalam waktu singkat, ia menjalin hubungan akrab dengan semua staff, tidak terkecuali Pendiri dari About The Fit, Jules Ostin.
Ben, si 'senior' sebagai asisten pribadi Jules

Jules Ostin (Anne Hathaway) dan semua kerumitan karirnya menjadi titik kumpul dalam film ini. Jules yang brilian merintis usaha fashion-nya sejak muda dan sekarang mengepalai perusahaan dengan total karyawan sebanyak 220 orang (lengkap dengan tukang pijat kantor)! Tipikal 'bisnis era ini' banget nggak, sih? Saya suka sekali dengan prinsip: "Seseorang dengan segelas wine di tangan dan laptop di depannya, sudah memiliki potensi untuk berbelanja." Sosok Jules yang menyeret segala prinsip yang kompleks mulai 'dipaksa' mencari CEO baru agar perusahaan barunya ini tidak terjun bebas dengan hectic-nya jadwal Jules setiap hari. 

meeting ini itu, jadi CS, ngurus gudang, semua di tangan Jules!
Jelas bahwa Jules adalah tipikal wanita masa kini dengan segala mimpi dan idealisme yang tidak bisa diterima oleh kebanyakan orang. Ia mengurus perusahaannya sendiri dengan detil (bahkan untuk hal packing barang!) dan tetaplah seorang wanita. Suaminya rela mengorbankan karir untuk merawat putri mereka, Mamanya yang sering cekcok dan dianggapnya aneh, gejolak pikiran yang terus berkecamuk di kepalanya: tentang dirinya yang harus mengambil keputusan dengan baik untuk semuanya, ketidaksetiaan dalam hubungan, serta hal klise wanita, penuaan. Saya sempat tergelak di bagian Jules yang menyatakan dirinya tidak akan 'laku' apabila bercerai, karena sifatnya yang perfeksionis sehingga tidak akan banyak pria yang 'tahan' dengannya! Well, film ini jujur dan realistis!

Ben bahkan merangkap kerja sebagai babysitter!
Di sini, Ben hadir sebagai observan dan dengan kehangatan hatinya, Ben pelan-pelan hadir di hidup Jules dan membantu 'merapikan' kekacauan-kekacauan yang tak sengaja dibuat Jules. Ia mulai akrab dengan anak dan suami Jules, menjadi panutan dan sahabat baik untuk para staff di kantor. Dan, di saat bersamaan, Ben terinspirasi oleh semangat dan ketangguhan seorang Jules Ostin

brothers! uye!
Film ini ditata dengan plot yang rapi dan dialog yang cerdas, itu sebabnya saya berpikir akan menontonnya lagi. Tak hanya itu, cerita pun bergulir dengan segar (sentuhan teknologi di mana-mana, mulai dari Mark Zuckenberg, cara menyalakan MacBook, naik Uber, cerita emoticon di chatting platform, dll). Setelah diamati, tidak ada tokoh antagonis di film ini, yang ada hanya perbuatan kurang tepat di mata orang yang bersangkutan. Which is, so life. Hidup kadang lebih rumit di bagian perang dengan diri sendiri, bukan? Sosok Ben mencontohkan bahwa kerendahan-hati, mudah memaafkan, terbuka akan membuat kita tegas dan bijaksana. 

Benar-benar film yang menghangatkan hati.

Kita di pesawat kelas A dan kita tidak bisa menikmatinya? Oh, come on!
Hangatnya hati tak ayal membakar percik-percik juga. Bagaimanapun, kita hidup di era memperjuangkan-apa-yang-kita-mau adalah hal paling berharga dan layak untuk dilakukan. Seperti halnya Ben yang menyatakan ini di waktu yang tepat:
"You started this business all by yourself a year and a half ago 
and now you have a staff of 220 people. 
Remember who did that."

Dan Jules yang introvert dan mendekap kehidupan pribadinya, bisa berkata seperti ini pada Ben: "The truth is, something about you makes me feel calm, more centered or something. I could use that, obviously."

Masih banyak quote yang menggelitik dari film ini, membuatmu mungkin berpikir ulang, membuatmu mengizinkan hatimu terbakar lagi. 
Bara yang positif, tentu saja.
Jules dan hal-hal kecil: packing barang.
"Pastikan seperti hadiah yang mereka beri untuk diri mereka sendiri."

5 alasan kenapa kamu mesti banget nonton The Intern:
1. Anne Hathaway seperti biasa sangat menawan! Sukak ekspresinya dan cara ngomongnya yang tegas dan nggak pake rem. Oke, ini review mulai subjektif, saya memang nge-fans sama doi. :3
2. Chemistry antara Anne Hathaway dan Robert De Niro patut diacungi jempol. Terutama Opa Robert dengan gestur, mimik dan tone suara yang begitu pas, begitu bijaksana dan... aih, charming!
3. Realita hidup manusia dengan usia 20-30an yang hidup di metropolitan. Lugas, jujur, pelik. 
4. Bagi kamu yang feminis, menjunjung asas 'wanita dan hidup yang bebas,' penuh ide dan kreatif, yes this is for you. Film ini (juga) disutradarai oleh seorang penulis wanita, Nancy Meyers.
5. Karena saya sudah nonton dan kepingin nonton lagi. Kebayang kan, film ini cerdas. :3